Posted in Syair

Surat yang Datang Telat

Beberapa Minggu lalu aku mengirim sebuah surat dari Mesir ke Indonesia. Terkhusus untuk satu orang yang sangat spesial, ibuku.

Jadi ceritanya ada kenalan ibuku yang berada di Mesir dan dia berencana pulang. Maka muncullah inisiatif untuk membuat sebuah surat di atas kertas dengan tulisan tangan, khusus untuk ibuku. Butuh beberapa minggu agar surat itu sampai ke tangan ibuku. Padahal kalo pake WhatsApp ga sampe semenit udah nyampe, tapi tetap saja, ada kesan tersendiri dari surat yang ditulis dengan tangan.

Namun tadi itu bukan cerita aslinya. Cerita aslinya, kenalan ibuku ini, beliau kenalan dekat, mungkin teman atau sahabat ibuku, pokoknya temenan. Nah karena temenan, beliau mungkin berpikir untuk memberikan oleh-oleh dari Mesir untuk ibuku. Jadilah aku korbannya, aku disuruh menulis sebuah surat untuk ibuku. Nyuruh pake Bahasa Arab lagi, ga boleh pake Bahasa Indonesia.

Akhirnya dengan terpaksa aku harus berpikir apa yang harus kutulis di surat itu. Aku yakin dengan sangat, surat itu sebelum sampai ke tangan ibuku pasti akan dibuka dan dibaca oleh kenalan ibuku tadi. Beliau sendiri yang bilang, beliau pengen ngecek kemampuan Bahasa Arabku. Dalam hatiku, aku akan nulis surat pake kata-kata yang sulit. Biar repot buka kamus beliau bacanya.

Juga mengingat tulisan tanganku yang sangat-sangat berantakan, terlintas ide licik di kepalaku. Aku suruh si Fahmia Labibah buat nulisin, beruntung dia mau. Biar kaget beliau, ‘Kok, tulisannya rapi banget’. Tapi kayaknya, beliau ga bakal kaget deh. Soalnya beliau juga kenal sama si Fahmia, jadinya pasti beliau langsung mikir, ‘Halah, paling ditulisin sama saudaranya.’

Isi suratnya, kuisi dengan 6 bait syair dari bahr Mukholla’ Basith. Tentang apa syairnya? Tentang rindu. Saat membuatnya aku hanya berkata dalam hati, ‘Rindu? Ga gue banget!’. Tapi bodo amatlah, yang penting suratnya selesai. Lagipula beliau nyuruhnya juga mendadak, jadinya yaudah kubuat sesempatnya.

يـــــــا أم إن لـــــــدي داء

لـم أرج من ذالك الشفــاء

Duhai ummi, sungguh aku mengidap penyakit. Penyakit yang sembuhnya tak bisa diharapkan lagi.

أعيـــا أطبــــاء عـــــالمين

يـــا لــيت عندهم الــدواء

Seluruh tabib dari seluruh dunia kesulitan untuk mengobatinya. Andai saja mereka punya obatnya.

قد طــال ذالك واستطــال

مــا زادني ما عدا الشقــاء

Telah lama kuidap penyakit ini, dan semakin lama. Tak menambah apapun kecuali kesengsaraan.

دعوت ربي شــكوت دائي

يــا رب ما أصعب البـــلاء

Aku sudah berdoa kepada Allah, sambil mengadukan penyakitku. Ya Allah, betapa sulitnya bencana ini.

بكـيت حتـى تجف عينـي

فســال من بعده الدمـــاء

Aku menangis hingga mengering mataku. Lalu darah mengalir, setelah kering mata ini.

حتى هداني الرحيم ربي

أن لـن يداوي عدا اللقــاء

Hingga Allah memberiku petunjuk, tak akan obat untuk penyakit ini selain bertemu denganmu, ummi.

Karena membuatnya yang terburu-buru, maka tak heran jika agak kacau Bahasa Arabnya. Bukan agak, tapi emang sangat kacau menurutku. Rasanya bukan seperti syair Bahasa Arab, tapi lebih ke Bahasa Indonesia yang diubah ke Bahasa Arab yang dipaksakan. Bodo amatlah, yang penting selesai tugasku. Kuyakin ibuku pasti ga mengerti sama sekali pas baca suratnya. Karena aku memang ga menulis artinya, disuruhnya gitu mau gimana lagi.

Satu hal yang kusadari ketika tulisan ini dibuat, kemampuan Bahasa Arabku semakin menurun. Buktinya, ada di syair tadi. Minim balaghoh, i’robnya ga jelas, bahkan maknanya sangat sangat kacau, terlalu dipaksakan. Kalau kenalan ibuku menyuruhku membuat surat untuk menilai kemampuan bahasaku, maka harusnya beliau memberikan nilai 0 besar.

Kenapa? Karena aku merasa, yang kulakukan dengan membuat syair tanpa disertai balaghoh hanyalah merusak bahasa. Apalagi ketika talaqqi dengan Syekh Abu Musa yang banyak membicarakan betapa indahnya syair-syair jahiliah. Aku merasa, dengan membuat syair semacam ini hanya mencemari nama baik mereka dan karya-karya mereka. Aku merasa, aku harus berhenti membuat syair.

Namun selalu ketika aku berpikir begitu, bagian diriku yang lain menimpali. Tak apa, aku hanya perlu terus belajar dan belajar. Tak peduli seberapa jelek yang kubuat, aku hanya perlu untuk terus memperbaikinya, kan? Terus dan terus, hingga syair-syair yang jelek itu menjadi kenangan, saat sudah berada di puncak. Setidaknya lebih baik dari mereka yang hanya belajar tanpa mau mencoba mempraktekkan apa yang sudah mereka pelajari dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bi al-showab

Author:

Kenapa keledai terperosok di lubang yang sama dua kali? Karena dia keledai.

6 thoughts on “Surat yang Datang Telat

    1. Sayanya, umminya ga paham, karena tidak dicantumkan terjemah.

      Parah ya, padahal ngirim surat itu biar sebelah sana tahu kabar, ini paham isi surat pun tidak.

      Like

Leave a comment