Posted in Artikel, Kajian

Kisah 4 Madzhab

Di fakultasku, ada salah satu mata kuliah yang menarik sekali dan baru aku pelajari di Mesir. Bahkan matkul tersebut menjadi salah satu matkul favoritku, meski kadang orang suka bilang itu matkul yang sulit. Apa mungkin karena berhubungan dengan sejarah ya? Ada yang bisa menebaknya?


Iyap, matkul itu yang berjudul “Tarikh Tasyri’ Islamiy” alias sejarah pensyariatan hukum dalam Islam.

Dalam matkul tersebut dijelaskan bahwa syariat Islam berawal sejak diutusnya Nabi Muhammad sebagai rasul. Wahyu yang turun tidak hanya berbicara tentang keimanan, surga, dan neraka, tetapi juga berbicara tentang bagaimana cara berinteraksi antar umat manusia. Interaksi tersebut melahirkan banyak sekali hukum yang di kemudian hari akan disatukan dalam satu disiplin ilmu yang khas, yaitu Fikih.


Mungkin kita akan bertanya, mengapa hukum-hukum tersebut harus disatukan? Untuk memudahkan orang-orang seperti kita. Sebab, jika dahulu para sahabat menemukan masalah baru yang belum ada hukumnya, mereka bisa langsung bertanya pada Rasul. Akan tetapi, itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat.


Apa yang para sahabat lakukan saat muncul masalah baru yang tidak ada di zaman Rasulullah sementara mereka tetap ingin terikat dengan hukum syara’?

Iyap, mereka berijtihad, menggali hukum dari nash al-Qur’an dan hadits. Jika pendapat semua sahabat sama, maka lahirlah ijma’ di antara mereka.


Akan tetapi, semakin hari, Islam semakin menyebar ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat juga mulai menyebar demi mengajarkan agama pada mereka yang baru masuk Islam, salah satunya adalah Abdullah bin Mas’ud yang diutus ke Kufah untuk menjadi qadhi di sana. Tetapi, tetap ada sahabat yang tinggal di Madinah seperti Abdullah bin Umar.


Keberadaan Abdullah bin Mas’ud di Kufah yang jauh dari Madinah membuat beliau sedikit mendapatkan hadits Rasul dan harus menyeleksinya dengan ketat agar keshohihannya terjaga. Tinggal di tempat yang baru ditaklukkan juga membuat beliau menemukan banyak masalah baru yang belum ada hukumnya dalam Islam. Sehingga, beliau banyak berijtihad dan menggunakan akalnya saat menjawab masalah.


Sementara, Abdullah bin Umar yang tinggal di Madinah mendapatkan banyak riwayat hadits dari Rasulullah. Sebab, para penduduk Madinah adalah para sahabat yang juga belajar kepada Rasul. Tinggal jauh dari perbatasan Daulah, membuat beliau jarang menemukan masalah-masalah baru. Sehingga beliau sedikit berijtihad dan lebih berpegang pada hadits saat menjawab masalah.


Dua keadaan yang berbeda ini ternyata merupakan cikal bakal dari dua madrasah terkenal. Madrasah Ahlu Ra’yi yang diasaskan oleh Abdullah bin Mas’ud dan Madrasah Ahlu Hadits yang diasaskan oleh Abdullah bin Umar.

Dari Madrasah Ahlu Ra’yi, lahirlah seorang ulama hebat bernama Abu Hanifah (80-150 H) yang banyak menjawab masalah iftiradhiyah (yang belum kejadian), sementara dari Madrasah Ahlu Hadits lahirlah seorang muhaddits kibar bernama Malik bin Anas (90-174 H) dengan kitab fenomenalnya al-Muwattho’.


Keduanya merupakan imam mazhab dengan metode yang berbeda. Imam Abu Hanifah yang banyak menggunakan akal dan mencari illat dalam suatu masalah, sementara Imam Malik berpegang teguh pada hadits dan enggan menjawab masalah iftiradhiyah. Akan tetapi, dari kedua madrasah ini lahirlah seorang ulama pengasas mazhab baru yang memadukan dua metode ijtihad, yaitu Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H).


Imam Syafi’I lahir di Gaza, tapi ibunya membawanya ke Mekah agar dekat dengan keluarganya karena beliau masih merupakan keturunan Quraisy dari jalur Abdu Manaf. Nama beliau dinisbatkan pada kakeknya yang bernama Syafi’ bin Saib yang merupakan sahabat Rasulullah.

Di Mekah, beliau belajar bahasa Arab kepada Bani Hudzail yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Kemudian beliau pergi ke Madinah untuk belajar Muwattho’ kepada Imam Malik.


Selanjutnya beliau belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani di Irak yang merupakan murid dari Imam Abu Hanifah. Di Irak jugalah beliau mengasaskan mazhab qadim (lama) dan di antara muridnya adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H).

Setelah itu, beliau pergi ke Mesir dan dalam kurun waktu 4-5 tahun beliau mengasaskan madzhab baru (jadid) dari awal hingga akhir. Di antara murid beliau di sana adalah Imam Buwaithi dan Imam Muzani.


Dari madzhab baru inilah kemudian madzhab Syafi’I disusun. Ada 4 kitab yang menjadi pondasi dari mazhab ini. Kita bahas di page selanjutnya!

Leave a comment