Posted in Artikel, Kajian

Mengenal Para Ulama Syafi’iyah

Sebenarnya ada banyak sekali mazhab di dalam Islam selain dari 4 mazhab yang kita kenal, seperti mazhab Imam Laits, mazhab Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, mazhab Imam al-Auza’I, mazhab Imam asy-Sya’bi, dan lainnya. Tapi, kenapa biasanya para ulama hanya me-notice mazhab yang 4?


Jawabannya adalah karena 4 mazhab itu adalah mazhab yang paling rapi penyusunan kitab-kitabnya, paling jelas kaidah dan ketentuan metode ijtihadnya, sehingga berkembang dan tersebar luas di berbagai negara hingga sekarang. Meski Imam Syafi’I menyebut bahwa Imam Laits itu lebih faqih dari pada Imam Malik, akan tetapi karena murid-murid Imam Laits tidak membukukan ajaran gurunya, akhirnya mazhabnya pun lama kelamaan memudar.


Di antara 4 mazhab yang paling terkenal, salah satunya adalah mazhab Imam Syafi’i yang mayoritas dianut oleh penduduk muslim di Asia, termasuk Indonesia. Jadi, pembahasan kita akan lebih fokus ke mazhab Syafi’i.


Di postingan sebelumnya, disebutkan bahwa ada 4 kitab yang menjadi pondasi dari mazhab Syafi’i. Kitab-kitab itu adalah al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Imla’ karya Imam asy-Syafi’i tapi sudah hilang, Mukhtashor al-Buwaithi karya Imam al-Buwaithi, dan Mukhtasor al-Muzani karya Imam Muzani. Kedua imam ini adalah muridnya Imam Syafi’i.


Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul adalah, kenapa kita tidak langsung mempelajari 4 kitab ini? Atau minimal langsung belajar al-Umm-nya Imam Syafi’i? Kenapa kita malah belajar matan-matan kecil seperti Safinatun Naja?


Jawabannya, ya karena 4 kitab itu ditulis oleh para ulama yang kualitasnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan kualitas keilmuan kita. Ibarah yang digunakan oleh para Imam tersebut juga sulit dimengerti oleh orang awam. Sehingga, kita butuh tangga untuk bisa mencapai ke sana, dan tangga itu dibuat oleh para ulama setelah mereka.


Kitab Mukhtashor Muzani ini banyak sekali disyarah, bahkan disebutkan memiliki lebih dari 100 syarah. Salah satunya adalah Nihayah al-Mathlab karyanya Imam al-Haramain. Nihayah al-Mathlab diringkas oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Basith, kemudian diringkas lagi oleh beliau menjadi al-Wasith. Al-Wasith diringkas lagi oleh beliau menjadi al-Wajiz.

Imam ar-Rafi’i datang menulis kitab al-Muharrar yang disarikan dari al-Wajiz. Kitab al-Muharrar ini diringkas oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya Minhaj at-Thalibin. Minhaj at-Thalibin-nya Imam an-Nawawi menjadi muktamad dalam mazhab. Kitab tersebut termasuk kitab yang wajib dihafalkan dan dipelajari oleh para pelajar mazhab Syafi’I pada masa itu.

Kemudian datanglah Imam Ibnu Hajar mensyarah kitab tersebut dalam Tuhfah al-Muhtaj, sementara Imam ar-Ramli juga mensyarahnya dalam kitab Nihayah al-Muhtaj. Kedua Imam ini merupakan pondasinya ulama mutaakhirin.

Waah… Panjang sekali rupanya perjalanan mazhab Syafi’i dari masa ke masa. Dari banyaknya kitab dan ulama, mana kemudian yang dijadikan rujukan akhir?

Di sini, para ulama syafi’iyah sepakat bahwa pendapat muktamad mazhab yang bisa diambil adalah pendapat yang disepakati oleh 2 Imam, yaitu Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi. Kalau mereka berdua berbeda pendapat, maka yang diambil adalah pendapatnya Imam an-Nawawi.

Bagaimana jika ada masalah baru yang tidak disebutkan oleh Imam an-Nawawi? Maka boleh merujuk kepada pendapatnya 2 syaikh mutaakhirin yaitu Imam Ibnu Hajar dan Imam ar-Ramli. Terserah mau ambil pendapat siapa. Biasanya kalau madrasah Yaman akan mengambil pendapatnya Imam Ibnu Hajar, sementara kalau madrasah Mesir akan mengambil pendapatnya Imam ar-Ramli.

Begitulah. Nggak apa nggak paham juga, namanya juga kenalan. Yang penting di sini kita jadi tahu bahwa mazhab itu tidak ditopang oleh satu orang, tetapi disempurnakan oleh banyak para ulama.

Mereka telah memberikan upaya yang begitu besar demi memudahkan generasi selanjutnya. Masa iya sih kita belajar yang udah dibuat mudah aja ogah-ogahan.

Jadi, ayo semangat!

Leave a comment