Posted in Syair

Sebelum Laut Semakin Pekat, Sebelum Semua Terlambat

هَذا زِنـًــى قَطْعـًـــا وَذاكَ نِكَـــــاحُ

إيـَّــــاكَ مِنْ هَــــذا وَذاكَ مُبـَــــاحُ

Ini adalah zina, itu adalah nikah. Jangan kau dekati ini (zina), sedangkan itu (nikah) boleh.

شَتـَّـــانَ بَينَ حَلَالِــــهِ وَحَرَامِــــهِ

لَا تَخلِطَنَّهُمـَــــا فَفِيـــهِ نَجَـــــــاحُ

Sangat jauh berbeda antara yang halal dan yang haram. Jangan kau campur keduanya, maka disitulah keselamatan.

إنَّ الزِنـَــى إنْ يَنْتَشِرْ بَيْنَ الــوَرَى

أَفَـمِنْهُ تُرْجـَــى نَهْضَــةٌ وَفـَـــــلَاحُ

Sungguh zina itu, jika tersebar di antara makhluk, maka apa bisa diharapkan kebangkitan dan kemenangan darinya?

Entah syair ini ditujukan bagi siapa. Hanya sebagai tanggapan dari ‘sampah’ yang muncul ke permukaan dari dasar laut yang gelap. Hanya satu dua sampah yang cukup punya nyali untuk muncul ke permukaan. Sisanya bersembunyi dalam gelapnya pedalaman yang tak tertembus sinar mentari. Masyarakat tak menyangka, ada sampah yang semakin menumpuk dan terus menggunung di dasar.

Meskipun si penulis dikabarkan telah minta maaf, tapi apakah kemudian hal ini selesai? Ataukah ini adalah awal dari percobaan-percobaan yang akan terus diluncurkan? Percobaan mereka kali ini mungkin tak berhasil, tapi bukankah itu menjadi pelajaran bagi yang akan muncul selanjutnya? Pembelajaran agar mencari ‘dalil’ pembenaran yang lebih baik dan kuat.

Tujuannya hanya satu, hidup bersama di bawah sinar matahari. Mereka tak mau terus menerus hidup dalam kegelapan. Mereka ingin masyarakat mampu bertoleransi terhadap pendapat-pendapat mereka yang nyeleneh. Semakin banyak mereka mengirimkan sampah ke permukaan, semakin terbiasa masyarakat dengan sampah-sampah tersebut. Hingga saatnya tiba, tak ada yang peduli dengan naiknya sampah ke permukaan, sudah biasa.

Namun sebelum muncul ke permukaan, masyarakatnya harus dipahamkan terlebih dahulu. Toleransi antar umat itu harus, jangan jadi radikal. Lalu masyarakat diberi gambaran orang yang toleransi dan dan yang radikal. Yang mampu menerima perbedaan entah itu benar atau salah mereka juluki si toleran, sebaliknya yang kokoh memegang kebenaran mereka sebut radikal.

Dipikir lagi, jangan-jangan ini alasan mereka terus menggembor-gemborkan toleransi. Untuk menyiapkan masyarakat agar ketika sampah-sampah bermunculan ke permukaan, mereka siap menerimanya. Mereka bisa bertoleransi dan memaklumi sampah tanpa ada rasa jijik atau jorok sama sekali. Bahkan mungkin membela ‘hak-hak’ sampah itu dengan inisiatif sendiri tanpa ada yang memotori. Hingga menyambut kemunculan para sampah itu laksana cahaya kebangkitan.

Namun pada asalnya, yang tidak toleransi adalah sampah tersebut. Mereka mengotori diri lalu meminta orang-orang tak menganggapnya kotor. Jika saja mereka berbersih diri, tentu masyarakat tak akan sungkan untuk menerimanya. Namun mereka telah mengotori hati mereka dari yang terdalam, sehingga menganggap yang bersih adalah kotor dan yang kotor adalah bersih. Meskipun dicuci berkali-kali, tak berangsur-angsur bersih, harus dicuci dengan air tujuh kali salah satunya dengan tanah.

Lalu bagaimana cara membersihkannya? Tentu saja dengan mencegah terjadinya penumpukan sampah terlebih dahulu. Dengan melarang penyebaran paham-paham yang merusak. Jika ketahuan menyebarkan, diberi hukuman keras tanpa pandang bulu. Sedangkan yang sudah menganut paham tersebut, dibasmi dengan rehabilitasi atau semacamnya. Tentu saja yang bisa melakukannya hanyalah pemerintah, bukan oknum-oknum apalagi individu. Karena itulah terkadang tak cukup kita hanya menasehati orang-orang terdekat kita, tapi juga menasehati pemerintah. Namun dengan keadaan seperti sekarang, apa yang bisa diharapkan?

Sementara sampah-sampah itu terus menumpuk di dasar lautan, laut berubah menjadi semakin pekat. Dasar laut yang sudah gelap ditambah kotoran sampah yang merubah warna laut menjadi semakin legam. Lambat tapi pasti, sampah itu akan naik ke permukaan. Ketika hari itu tiba, entah apa yang bisa kita lakukan. Maka sebelum hari itu tiba, kita harus lebih dulu membumi hanguskan mereka.

Akhir kata, itulah tiga bait singkat dariku yang masih banyak kekurangan. Sebenarnya ada bait keempat yang ingin kutaruh juga. Namun karena ada unsur hija’ di dalamnya jadinya tak kucantumkan. Tapi setelah kupikir lagi, mungkin akan kucantumkan di akhir tulisan saja.

لَا عَيْبَ مِن نَبْحِ الكِلَابِ وَإِن يَكُن

ذُو العَقْــلِ قَــلَّدَهَــا فَبِئسَ نُبـَــاحُ

Gonggongan para anjing bukanlah sebuah aib. Namun jika orang berakal mengikutinya (gonggongannya) maka itulah seburuk-buruk gonggongan.[]

Author:

Kenapa keledai terperosok di lubang yang sama dua kali? Karena dia keledai.

Leave a comment